Dengan ini MUI berfatwa
DALAM HIDUP INI, ada banyak hal yang sudah pasti kebenarannya. Sedemikian pastinya hingga semua orang, tak peduli dia profesor, tukang cukur atau artis, mengakuinya dan sepakat untuk tak lagi memperdebatkannya. Ambil misal begini: semua kita menerima prinsip “tiada orang (atau benda) yang bisa memberi sesuatu yang tidak dimilikinya”. Kita sepakat kalau kayu tak bakal bisa memancarkan sinar mengingat ia tidak punya potensi cahaya dalam dirinya. Kita sepakat bahwa hanya orang yang berharap batu bisa berbuah stroberi.
Contohnya masih banyak lagi – dan tak bakal ada habisnya. Misal, jika Anda ingin mencium bau wangi, maka yang paling pas adalah datang ke toko-toko minyak wangi atau kebon bunga. Sebaliknya, salah besar dan tersesatlah Anda jika ingin mencium wewangian tapi mencarinya di Bantar Gebang, pembuangan sampah raksasa warga Jakarta, umpamanya.
Bila ditarik ke belakang, kebenaran prinsip semacam itu bakal mengantar kita pada dua hal: prinsip kausalitas yang menolak kesemerawutan dan kekacauan dan hukum dasar habitat.
Kausalitas mengajarkan api selalu akan memberikan panas dan tidak mengeluarkan air kecuali dengan sarana lain di luar dirinya. Air juga tidak bisa mengeluarkan sesuatu yang tidak dikandungnya. Dan begitulah seterusnya, dan begitulah semuanya. Jika mau jujur, dari prinsip dan hukum kausalitas inilah manusia bisa hidup, berpikir, berencana dan bertindak.
Bagaimana dengan hukum habitat? Habitat pada intinya bercerita tentang suatu lingkungan khas bagi berkumpulnya spesies-spesies yang khas. Hanya di situlah spesies-spesies itu berkumpul, hidup, saling mendukung, memperkuat dan tidak mustahil—jika keadaan darurat terjadi—saling memakan dan menghabisi untuk mempertahankan diri.
Dari fakta itu, sembarang orang dengan cepat paham dan sepakat bahwa jika ingin cerdas, ya … orang perlu pergi belajar ke kampus atau berkutat dengan cawan petri di pusat penelitian. Atau paling tidak berkumpul dengan orang-orang cerdas. Sebab akal mengajarkan dari lingkungan seperti itulah biasanya kecerdasan menular. Sebaliknya, jika seseorang bergaul dengan kumpulan orang bodoh, maka jangan salahkan siapa pun jika dia terus bodoh atau makin bodoh. Mengapa? Ya karena orang-orang bodoh melakukan pembodohan, dan orang-orang cerdas-lah yang melakukan pencerdasan. Di dalam lingkungan yang cerdas, radiasi kecerdasan memancar; dan demikian pula sebaliknya.
Bila hukum habitat itu direntang sedikit lebih jauh, kita bakal menemukan betapa pentingnya berhati-hati dengan lingkungan dan pergaulan. Dari lingkungan yang baik menyebarlah kebaikan, dan dari teman yang baik tersiar sifat dan perilaku yang baik pula. Nabi Muhammad saw. pernah berkata man jalis janis (teman dudukmu adalah sejenismu). Seolah-olah Baginda Nabi sedang mengingatkan kita tentang hukum-hukum yang mengatur alam raya ini. Beliau ingin kita mengenali fakta sebuah habitat. Beliau ingin meyakinkan kita bahwa habitatmu sesungguhnya menunjukkan siapa kau—meskipun kau ingin mengelabui dirimu dan orang-orang di sekitarmu. Siapa pun, termasuk para ulama, tak bisa seenaknya mengubahnya.
Lalu, bagaimana dengan kafir dan pengkafiran? Sesat dan penyesatan? Apakah prinsip dan hukum yang sama berlaku? Ya, sama saja sebenarnya. Prinsip kausalitas dan habitat berlaku pula dalam soal kafir dan pengkafiran, sesat dan penyesatan. Dari orang-orang kafir dan lingkungan kafir, Anda akan menemukan dan menambah kekafiran; dari orang-orang sesat dan lingkungan yang sesat, Anda akan menemukan dan menambah kesesatan. Kemudian, hanya orang-orang kafir saja yang dapat melakukan pengkafiran, persis seperti hanya orang-orang cerdas saja yang melakukan pencerdasan. Dan begitu pula orang-orang sesat saja yang melakukan penyesatan, persis sebagaimana orang-orang yang mendapat petunjuk-lah yang dapat menunjukkan jalan dan arah.
Logika bahasa juga memperkuat kebenaran jalan pikiran itu. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengkafiran dikaitkan dengan proses, cara dan perbuatan mengkafirkan, persis sebagaimana pencerdasan itu dikaitkan dengan proses, cara dan perbuatan mencerdaskan. So, kita takkan mungkin menemukan orang cerdas melakukan pembodohan atau orang bodoh melakukan pencerdasan; seperti juga kita mustahil menemukan orang mukmin melakukan pengkafiran dan orang kafir melakukan pengimanan. Ini faktanya.
* * *
Sekarang mari kita geser cermin pikiran di atas dan menghadapkannya ke wajah mutakhir Majelis Ulama Indonesia.
Ironis, Bung! Untuk satu hal, siapapun dengan cepat membaca betapa lembaga yang sedianya menjadi wadah pencerdasan, pengimanan, pentakwaan, pentauhidan, pengayaan makrifat dan sebagainya -- belakangan justru seperti menjadi kumparan kausalitas dan habitat pengkafiran dan penyesatan. Bukankah tokoh-tokoh lembaga ini sudah lebih dari sering berkeliling Indonesia sekadar untuk menyebarkan apa yang mereka anggap sebagai ‘kesesatan’ -- dan bukan memperkuat keimanan?
Anda mungkin bertanya: mungkinkah ada petunjuk dari penyesatan? Mungkinkah ada iman di balik pengkafiran? Jawabnya jelas: sekali tidak mungkin. Sebab: bagaimana mungkin Anda bisa memberi petunjuk lokasi rumah seseorang dengan cara menyesatkan orang tersebut? Ini logika yang salah.
Boleh jadi para petinggi MUI berdalih begini: kami menjelaskan aliran-aliran sesat agar umat tidak tersesat. Dalil ini sering dikemukakan kaum Bromocorah: rasakanlah maksiat agar kau dapat merasakan taubat. Logika seperti ini persisnya adalah tipuan setan. Dan tipuan ini berasal dari kebodohan azali setan yang mengira bahwa api lebih unggul daripada tanah tanpa bukti apapun. Hukum kausalitas dan habitat menolak keras pikiran buruk seperti ini, karena dari penyesatan dan pengkafiran, Anda hanya akan menebarkan kesesatan dan kekafiran. Nothing more and nothing less. Maka tidaklah salah jika sekarang kian banyak orang yang mulai khawatir MUI berubah menjadi agen pengkafiran dan penyesatan dan bukan lagi sebagai agen pencerahan, pencerdasan dan penguatan iman umat dan bangsa. Fakta MUI sebagai habitat dan agen pengkafiran dan penyesatan itu sepertinya diperkuat oleh sifat dan perilaku buruk lain seperti indikasi korupsi, jual beli label dan sertifikat halal, money politics dengan memberikan dukungan ke capres tertentu, dan sebagainya.
Ala kulli hal, semoga Allah Yang Tinggi menyelamatkan umat ini dengan menyelamatkan ulamanya.
Contohnya masih banyak lagi – dan tak bakal ada habisnya. Misal, jika Anda ingin mencium bau wangi, maka yang paling pas adalah datang ke toko-toko minyak wangi atau kebon bunga. Sebaliknya, salah besar dan tersesatlah Anda jika ingin mencium wewangian tapi mencarinya di Bantar Gebang, pembuangan sampah raksasa warga Jakarta, umpamanya.
Bila ditarik ke belakang, kebenaran prinsip semacam itu bakal mengantar kita pada dua hal: prinsip kausalitas yang menolak kesemerawutan dan kekacauan dan hukum dasar habitat.
Kausalitas mengajarkan api selalu akan memberikan panas dan tidak mengeluarkan air kecuali dengan sarana lain di luar dirinya. Air juga tidak bisa mengeluarkan sesuatu yang tidak dikandungnya. Dan begitulah seterusnya, dan begitulah semuanya. Jika mau jujur, dari prinsip dan hukum kausalitas inilah manusia bisa hidup, berpikir, berencana dan bertindak.
Bagaimana dengan hukum habitat? Habitat pada intinya bercerita tentang suatu lingkungan khas bagi berkumpulnya spesies-spesies yang khas. Hanya di situlah spesies-spesies itu berkumpul, hidup, saling mendukung, memperkuat dan tidak mustahil—jika keadaan darurat terjadi—saling memakan dan menghabisi untuk mempertahankan diri.
Dari fakta itu, sembarang orang dengan cepat paham dan sepakat bahwa jika ingin cerdas, ya … orang perlu pergi belajar ke kampus atau berkutat dengan cawan petri di pusat penelitian. Atau paling tidak berkumpul dengan orang-orang cerdas. Sebab akal mengajarkan dari lingkungan seperti itulah biasanya kecerdasan menular. Sebaliknya, jika seseorang bergaul dengan kumpulan orang bodoh, maka jangan salahkan siapa pun jika dia terus bodoh atau makin bodoh. Mengapa? Ya karena orang-orang bodoh melakukan pembodohan, dan orang-orang cerdas-lah yang melakukan pencerdasan. Di dalam lingkungan yang cerdas, radiasi kecerdasan memancar; dan demikian pula sebaliknya.
Bila hukum habitat itu direntang sedikit lebih jauh, kita bakal menemukan betapa pentingnya berhati-hati dengan lingkungan dan pergaulan. Dari lingkungan yang baik menyebarlah kebaikan, dan dari teman yang baik tersiar sifat dan perilaku yang baik pula. Nabi Muhammad saw. pernah berkata man jalis janis (teman dudukmu adalah sejenismu). Seolah-olah Baginda Nabi sedang mengingatkan kita tentang hukum-hukum yang mengatur alam raya ini. Beliau ingin kita mengenali fakta sebuah habitat. Beliau ingin meyakinkan kita bahwa habitatmu sesungguhnya menunjukkan siapa kau—meskipun kau ingin mengelabui dirimu dan orang-orang di sekitarmu. Siapa pun, termasuk para ulama, tak bisa seenaknya mengubahnya.
Lalu, bagaimana dengan kafir dan pengkafiran? Sesat dan penyesatan? Apakah prinsip dan hukum yang sama berlaku? Ya, sama saja sebenarnya. Prinsip kausalitas dan habitat berlaku pula dalam soal kafir dan pengkafiran, sesat dan penyesatan. Dari orang-orang kafir dan lingkungan kafir, Anda akan menemukan dan menambah kekafiran; dari orang-orang sesat dan lingkungan yang sesat, Anda akan menemukan dan menambah kesesatan. Kemudian, hanya orang-orang kafir saja yang dapat melakukan pengkafiran, persis seperti hanya orang-orang cerdas saja yang melakukan pencerdasan. Dan begitu pula orang-orang sesat saja yang melakukan penyesatan, persis sebagaimana orang-orang yang mendapat petunjuk-lah yang dapat menunjukkan jalan dan arah.
Logika bahasa juga memperkuat kebenaran jalan pikiran itu. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengkafiran dikaitkan dengan proses, cara dan perbuatan mengkafirkan, persis sebagaimana pencerdasan itu dikaitkan dengan proses, cara dan perbuatan mencerdaskan. So, kita takkan mungkin menemukan orang cerdas melakukan pembodohan atau orang bodoh melakukan pencerdasan; seperti juga kita mustahil menemukan orang mukmin melakukan pengkafiran dan orang kafir melakukan pengimanan. Ini faktanya.
* * *
Sekarang mari kita geser cermin pikiran di atas dan menghadapkannya ke wajah mutakhir Majelis Ulama Indonesia.
Ironis, Bung! Untuk satu hal, siapapun dengan cepat membaca betapa lembaga yang sedianya menjadi wadah pencerdasan, pengimanan, pentakwaan, pentauhidan, pengayaan makrifat dan sebagainya -- belakangan justru seperti menjadi kumparan kausalitas dan habitat pengkafiran dan penyesatan. Bukankah tokoh-tokoh lembaga ini sudah lebih dari sering berkeliling Indonesia sekadar untuk menyebarkan apa yang mereka anggap sebagai ‘kesesatan’ -- dan bukan memperkuat keimanan?
Anda mungkin bertanya: mungkinkah ada petunjuk dari penyesatan? Mungkinkah ada iman di balik pengkafiran? Jawabnya jelas: sekali tidak mungkin. Sebab: bagaimana mungkin Anda bisa memberi petunjuk lokasi rumah seseorang dengan cara menyesatkan orang tersebut? Ini logika yang salah.
Boleh jadi para petinggi MUI berdalih begini: kami menjelaskan aliran-aliran sesat agar umat tidak tersesat. Dalil ini sering dikemukakan kaum Bromocorah: rasakanlah maksiat agar kau dapat merasakan taubat. Logika seperti ini persisnya adalah tipuan setan. Dan tipuan ini berasal dari kebodohan azali setan yang mengira bahwa api lebih unggul daripada tanah tanpa bukti apapun. Hukum kausalitas dan habitat menolak keras pikiran buruk seperti ini, karena dari penyesatan dan pengkafiran, Anda hanya akan menebarkan kesesatan dan kekafiran. Nothing more and nothing less. Maka tidaklah salah jika sekarang kian banyak orang yang mulai khawatir MUI berubah menjadi agen pengkafiran dan penyesatan dan bukan lagi sebagai agen pencerahan, pencerdasan dan penguatan iman umat dan bangsa. Fakta MUI sebagai habitat dan agen pengkafiran dan penyesatan itu sepertinya diperkuat oleh sifat dan perilaku buruk lain seperti indikasi korupsi, jual beli label dan sertifikat halal, money politics dengan memberikan dukungan ke capres tertentu, dan sebagainya.
Ala kulli hal, semoga Allah Yang Tinggi menyelamatkan umat ini dengan menyelamatkan ulamanya.
0 komentar on MUI: Habitat Pengkafiran dan Penyesatan? :
Post a Comment and Don't Spam!