Margaret Kimberley: "AS Biang Kerok Semua Kekerasan Dunia"

Share on :
Stop AS  (http://www.oocities.org)
Stop AS (http://www.oocities.org)

Amerika Serikat merupakan adidaya militer yang ekonominya sedang ambruk. Akibatnya, kebijakan luar negeri AS mirip mafia tukang peras yang "menawarkan perlindungan saat dirinya justru yang sebetulnya menjadi ancaman satu-satunya bagi para tetangganya". Si jail tua renta itu belum enyah dan harus dilawan.

Demikian ungkap analis sekaligus kritikus sengit kejahatan global AS, Margaret Kimberley. "Siapa yang akan berupaya mati-matian menghukum AS yang sejauh ini menjadi 'penyetor terbesar kekerasan di dunia hari ini'?" tanyanya.

AS dapat terus menjadi agresor terburuk dan paling ngotot di planet ini, lanjutnya, lantaran sebagian besarnya tak pernah membayar ongkos apapun bagi kejahatannya. "Pemerintah kami (AS) telah bertindak dengan kekebalan komplit, sekalipun telah membumihanguskan negera-negera seperti Irak, Haiti, dan Libya dengan kekuatan dan pendudukan militer," tegas Kimberley.

AS menyokong para proksinya untuk mengacaukan pemerintah terpilih di Venezuela dan menggagalkan keinginan rakyat di negara itu, paparnya. "AS juga merusak perekonomian Iran dengan sanksi keras dan sekarang berusaha melakukan hal yang sama terhadap Rusia," kata Kimberley.

Menurutnya, AS tak punya rasa malu saat menegaskan haknya untuk campur tangan di mana saja yang dipilihnya di planet ini, dan menghukum bangsa lain dengan keyakinan yang salah bahwa dirinya diizinkan bertindak demi kepentingan terbaik.

Pada 2003, lanjut Kimberley, AS menginvasi Irak dengan dalih membawa demokrasi dan mengenyahkan senjata pemusnah massal. "Tuduhan bahwa Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal telah terbukti sebagai kebohongan yang telanjang dan niat untuk menegakkan demokrasi hanyalah fabrikasi yang sama mengerikan. Anehnya, AS sama sekali tidak menderita atas tipudayanya atau perannya dalam membunuh ratusan ribu jiwa," ujarnya sinis.

Setelah AS campur tangan dalam menggulingkan presiden terpilih Ukraina, lanjutnya, Presiden Rusia Vladimir Putin langsung menarik garis merah di sekliling negaranya. "Karena Putin menantang para pengganggu, AS pun memutuskan untuk menghukumnya," imbuh Kimberley.

Negara-negara G8, ujarnya, kini menjadi G7 karena Inggris, Kanada, Jepang, Jerman, Italia, dan Perancis tunduk pada permintaan AS untuk menendang Putin keluar dari klubnya. "Pertemuan G8 yang menurut jadwal akan diselenggarakan Putin di Sochi, sekarang akan digelar di markas Uni Eropa di Belgia dan tak akan dihadiri Rusia untuk pertama kalinya sejak 1998," kata Kimberley.

Menurutnya, arogansi dan intimidasi AS yang mengerikan hanya selaras dengan sikap merendahkan diri sekutu-sekutunya, yang tak pernah berani mempersoalkan AS. "Mereka tentu dapat menggunakan logika yang sama untuk menendang AS keluar dari G8 menyusul invasi Irak, atau pendudukan Haiti, atau penghancuran Libya, atau penghancuran Suriah yang sedang berlangsung, namun kriminal besar itu terus melenggang tak terjamah," lanjut Kimberley.

Mereka, katanya, takut pada kekuatan AS sekaligus terlibat dalam kejahatannya. "Kemunafikan mereka selaras dengan kepengecutannya," sergah Kimberley.

Sayang, lanjutnya, AS terlanjur dipandang sebagai negara terkuat di dunia dan menggunakan kekuatan untuk menghancurkan siapapun yang berani menghalangi jalannya, dan Vladimir Putin adalah "setan" hari ini. "Pemerintahannya memberi suaka sementara bagi sosok buronan lain, Edward Snowden, yang melakukan tindak pidana mengungkap sejauh mana keamanan negara AS," papar Kimberley.

Saat Obama dan pemimpin NATO lainnya berusaha campur tangan secara langsung di Suriah dan menjadikan "pemberontak" mereka menang, katanya, Putin berdiri tegak di jalan mereka. "Saat NATO menggulingkan presiden Ukraina (tetangga Rusia) yang terpilih secara demokratis, Putin dengan tegas mengatakan pada NATO bahwa ia menolaknya dan tantangan itu menjadikannya sosok persona non grata ke AS dan negara-negara anteknya," terang Kimberley.

Siapa yang akan berusaha mati-matian menghukum AS? Di mana seruan boikot dan sanksi (terhadap AS)?

Tentu saja negara-negara G7 sering menjadi mitra dalam kejahatan AS, lanjutnya, namun mereka juga tahu bahwa predator yang terluka sangat berbahaya. "AS menghadapi krisis ekonomi konstan yang dibawa kapitalisme yang sedang runtuh dan menggunakan ototnya untuk menjaga pihak lain tetap berada dalam barisannya," ujar Kimberley.

Ini dapat mencegah negara-negara lain menanggalkan dolar sebagai mata uang cadangan atau menggunakan kemampuan mereka untuk menjual sumberdayanya namun tidak cukup lemah untuk ditentang tanpa konsekuensi serius.

Dalam bahasa populer, boleh dibilang, AS adalah "gangsta", mafia tukang peras, ujarnya. "AS menawarkan perlindungan saat dirinya justru yang sebetulnya menjadi ancaman satu-satunya bagi para tetangganya," lanjut Kimberley.

Rusia tak mengancam satupun negara G7. "Tak satupun dari mereka punya alasan untuk takut pada Putin; tapi mereka punya alasan untuk takut dikudeta dan dicaplok kecuali melangkah bersama AS," katanya.

Putin dihukum karena berusaha menghentikan kejahatan AS, lanjut Kimberley, sementara AS sendiri dihargai karena melakukan kejahatan. "Sanksi dan isolasi dimaksudkan untuk mengubah Rusia menjadi Iran yang lain, sebuah negara kaya energi yang tak mampu menjual sumberdaya energinya," paparnya. Pemenang utamanya tetap AS, yang akan menghancurkan para pesaingnya demi pengaruh di dunia.

AS juga membawa dunia menuju jurang kekerasan yang mematikan. "Bahkan di era perang dingin, hak prerogatif Uni Soviet diterima sebagai 'realpolitik' (kebijakan politik yang dilandasi kekuatan ketimbang gagasan) pragmatis," ujar Kimberley. Basa-basi itu tidak lagi dihormati dan campur tangan AS yang memang mencipta konflik sebagaimana dikhawatirkan, tidak banyak disadari di masa lalu.

0 komentar on Margaret Kimberley: "AS Biang Kerok Semua Kekerasan Dunia" :

Post a Comment and Don't Spam!