A. Skenario "Islam versus Islam"
Strategi AS rancangan Zbigniew Brzezinski yang memanfaatkan dukungan kaum obskurantis Islam untuk melawan kebijakan Muslim progresif maupun Rusia, memicu aliansi untuk melawannya. Kini China, Rusia, Iran, Suriah, dan Hizbullah berdiri bersama-sama untuk melawan.
Pada akhirnya, perangkap pun bermunculan untuk kalangan yang memang sengaja menyiapkannya.
Iran, Suriah dan Libanon berkat Hizbullah dan para sekutunya, yang dianggap Barat selama bertahun-tahun sebagai sumber kejahatan karena dukungannya terhadap apa yang mereka sebut "terorisme", belum selesai dibicarakan. Setelah perlakuan individual terhadap masing-masing mereka sesuai proyek perpecahan politik di wilayah tersebut, seutas sumbu telah terbangun dengan sendirinya, yang dimulai dari gerbang Rusia dan Cina dan berujung di Tel Aviv.
Sumbu ini berakar pada kebijakan politik Barat yang diperuntukkan bagi wilayah ini. AS, diikuti negara-negara besar Barat, telah menyatakan bagaimana kepentingan ekonomi harus dipertahankan dengan biaya apapun. Kebijakan bias ini telah menghasilkan ketegangan selama bertahun-tahun, sumber konflik bersenjata, dan perkelahian jalanan yang tak henti-hentinya memberi makan berita-berita televisi.
Kebijakan ini, yang diabadikan untuk beberapa waktu, dilaksanakan dengan dukungan pemangku kepentingan lokal. Namun, percepatan terjadi setelah runtuhnya Tembok Berlin, yang disaksikan sebagai peristiwa bersejarah, yang justru menandai munculnya strategi agresif dan menghina terhadap Timur Tengah.
Uni Soviet telah menghilang, negara-negara di wilayah ini tidak bisa berharap apapun selain mengandalkan kontrol Barat, terutama AS. Alih-alih mengambil keuntungan dari posisi istimewa sebagai penengah ini, AS dan beberapa negara Barat lainnya lebih mendukung benturan dan dominasi "Timur Tengah yang diperluas" melalui intervensi langsung di Irak dan Afghanistan, juga di Libanon, Yaman, dan Maghreb, termasuk niat yang telah diungkapkan, di Suriah dan Iran.
AS diketahui, sejak tahun 70-an, setelah guncangan minyak, harus mengendalikan sumber-sumber bahan baku, terutama minyak, serta rute untuk mengakses sumber daya tersebut. Karena, mereka memiliki pengalaman pahit dalam menemukan kebutuhan vital ini, baik untuk ekonomi mereka maupun untuk kenyamanan warganya.
Para ahli berbeda pendapat seputar penilaian terhadap cadangan gas dan hidrokarbon, namun gagasannya tetap konstan, yaitu sifat terbatas kekayaan tersebut yang terletak di tangan Badui (Arab Saudi) serakah yang tidak membutuhkan emas selama waktu luang dan kesenangan mereka dibiayai.
Saat "benturan peradaban" Samuel Huntington menggantikan Perang Dingin, bagi AS, Islam telah menjadi musuh baru yang berguna, semacam "sekutu", melawan Eropa. Secara pragmatis dan oportunistik, AS melihat dalam gerakan Islam terdapat "alasan yang tepat" dan memilih memainkan kartu Muslim untuk lebih mengontrol jalur emas hitam. Mereka telah merasakan manfaat dari sekutu berbahaya ini, jauh sebelum ledakan komunisme.
Diawali pula pada 1970-an, AS mendukung ekstremis Islam, dari Ikhwanul Muslimin Suriah hingga kelompok Islam Bosnia dan Albania, dari Taliban hingga Jamaah Islamiyyah Mesir. Bahkan terdapat pembicaraan tentang hubungan mereka dengan FIS (Front Penyelamat Islam) yang menjadi pelaku kekerasan "GIA" di Aljazair. Mereka memanjakan kaum Wahhabi yang dianut monarki Saudi pro-AS yang mendanai hampir semua jaringan Islam (dangkal dan takfiri) di seluruh dunia. Mereka memainkan... gerakan fundamentalis yang mereka percaya betul mampu ditangani, kendati kadang-kadang berbalik melawan "Setan Besar" untuk mencapai tujuannya sendiri.
Sebaliknya, AS mengabaikan atau ingin menetralisir negara-negara Muslim yang mungkin dimaksudkan untuk mendapatkan kekuasaan politik dan otonomi relatif. Lihat saja Presiden Jimmy Carter yang mengabaikan Syah (Pahlevi), sementara Iran menjadi tuan minyak. Sebagai tambahan, terdapat pula keinginan untuk menghancurkan tanda-tanda kemerdekaan intelektual, bahkan di negara-negara Arab sekuler seperti Suriah, Mesir, dan Irak.
Permainan dengan Islamisme menghasilkan kerugian pada gerakan sekuler yang mewakili alternatif politik Islam radikal.... Namun, "Islamisme" jelas tidak dapat divampuradukan dengan Republik Iran "Islam" yang memiliki asal-usul tidak lazim. Selain itu, beberapa penulis yang khusus mempelajari gerakan Islam terkadang membuat kesalahan dengan mencampuradukan Republik Islam Iran dengan kaum Islamis, kendati keduanya tidak memiliki kesamaan, kecuali fakta bahwa keduanya merujuk pada Islam dan Syariah. Perbedaan mendasarnya adalah definisi Islam politik yang diusung satu sama lain.
Setiap hal memisahkan keduanya secara mendasar dan jika memang AS tidak berbuat banyak untuk menyelamatkan Syah, sikap ini dibenarkan oleh mereka untuk alasan strategis, karena Iran bagi mereka sama sekali tidak boleh menjadi kekuatan regional yang besar. Ini dijelaskan beberapa waktu setelah jatuhnya Syah, di mana AS menginisatifkan perang yang dilancarkan Saddam Hussein terhadap tetangganya, yang menghancurkan kedua negara yang dapat memiliki pengaruh menentukan di kawasan Teluk.
Namun, perkembangan di Iran selepas perang dengan Irak memungkinkannya menjadi kekuatan regional nyata yang ditakuti monarki Teluk tertentu, yang lebih suka mempercayakan keamanan dirinya pada Barat, terutama AS. Sebagai imbalannya, mereka mempercayakan "sumberdaya"nya pada perekonomian Barat serta mendanai kegiatan dan gerakan yang didesain dinas rahasia Washington.
Monarki yang sama menutup mata terhadap pelbagai peristiwa saat ini di beberapa daerah, termasuk Palestina, meskipun mereka mengklaim mendukung aspirasi rakyat Palestina. Mereka menjadi negara Arab pertama yang menjalin kontak langsung atau rahasia dengan "Israel", yang kemudian memicu pemulihan hubungan antara gerakan perlawanan Palestina dengan Iran.
Iran saat ini tampil sebagai satu-satunya pihak yang bersedia membela tempat-tempat suci Islam dengan pasukan al-Quds, cabang dari Pengawal Revolusi, dan lewat dukungannya terhadap Hamas. Sihir AS telah berbalik melawan penyihirnya.
Bagi Amerika Utara, dunia Arab-Muslim tetap dipandang sebagai dunia kaya minyak, dapat dieksploitasi sesuka hati, namun secara abu-abu miskin dan dipatok dalam kondisi ketergantungan total terhadap teknologi (Barat), pasar dari miliaran konsumen yang tak berdaya secara politik, militer, dan ekonomi.
0 komentar on Sumbu Harapan: Dari Beijing Hingga Beirut via Moskow-Tehran-Damaskus :
Post a Comment and Don't Spam!